Illustrasi: pixabay.com |
Siang itu udara terasa begitu panas, mau keluar ruangan terasa malas, jadinya aku mengurung diri di ruang kantorku seorang diri. Sambil menunggu waktu pulang, aku duduk di kursi berwarna hitam dengan sandaran tinggi, tempat duduknya empuk dengan empat roda dibawahnya.
Sambil duduk, aku iseng mendorong kursi itu maju mundur dengan mata menerawang. Teringat kisah seorang perempuan cantik bertubuh semok berusia 44 tahun yang memakai celana pendek selutut di padu dengan kemeja berwarna biru yang membuatnya semakin terlihat cantik.
Sambil duduk, aku iseng mendorong kursi itu maju mundur dengan mata menerawang. Teringat kisah seorang perempuan cantik bertubuh semok berusia 44 tahun yang memakai celana pendek selutut di padu dengan kemeja berwarna biru yang membuatnya semakin terlihat cantik.
Wanita cantik yang memiliki rambut sedikit ikal sebahu ini kebetulan anaknya sekolah di tempatku. Entah kenapa siang ini sosok perempuan itu seperti tengah menari-nari di pelupuk mataku. Padahal saat perempuan itu menceritakan rahasia hidupnya. Saat itu anaknya masih sekolah di tempatku. Dan sekarang anaknya sudah duduk di bangku di SLTA.
Wanita cantik yang memiliki rambut ikal sebahu itu berkaca-kaca ketika menceritakan rahasia hidupnya kepadaku. Entah kenapa perempuan itu begitu percaya untuk menceritakan semuanya kepadaku.
Aku terdiam, tidak mampu berkata apalagi menyela ucapannya, sambil sesekali menarik nafas, aku coba resapi perasaannya dan sebagai sesama wanita yang juga memiliki anak seusia anaknya aku hanya mampu mengelus dada saat mendengar kisah hidupnya.
Wanita cantik yang memiliki rambut ikal sebahu itu berkaca-kaca ketika menceritakan rahasia hidupnya kepadaku. Entah kenapa perempuan itu begitu percaya untuk menceritakan semuanya kepadaku.
Aku terdiam, tidak mampu berkata apalagi menyela ucapannya, sambil sesekali menarik nafas, aku coba resapi perasaannya dan sebagai sesama wanita yang juga memiliki anak seusia anaknya aku hanya mampu mengelus dada saat mendengar kisah hidupnya.
~~~
Ketika anaknya berusia satu tahun, suami yang dia cintai pergi entah kemana dengan meninggalkan setumpuk hutang, hingga setiap harinya, dia selalu didatangi oleh rentenir yang datang menagih hutang dari lelaki tidak bertanggung jawab, yang telah memberikannya seorang anak lelaki yang saat ini telah duduk di bangku kelas 6 SD.
Ketika anaknya berusia satu tahun, suami yang dia cintai pergi entah kemana dengan meninggalkan setumpuk hutang, hingga setiap harinya, dia selalu didatangi oleh rentenir yang datang menagih hutang dari lelaki tidak bertanggung jawab, yang telah memberikannya seorang anak lelaki yang saat ini telah duduk di bangku kelas 6 SD.
Tak lama setelah lelaki pengecut itu meninggalkan dirinya, semua isi rumahnya telah dia jual untuk membayar hutang dan yang terakhir adalah dia dan anaknya, harus terusir dari rumah kontrakan yang selama ini dia tempati, karena tak sanggup lagi membayar sewa bulanannya.
Beruntung atas kebaikan seorang tetangga yang iba melihat keadaannya, dia dicarikan kamar kos yang paling murah dan terletak tidak jauh dari kontrakan lamanya. Atas kebaikan tetangganya, uang sewa kamar kos untuk satu bulan, kamar itu ditanggungnya dan selanjutnya dia harus membayar uang kamar kos-nya sendiri.
Sambil menyeka airmata, dia kembali melanjutkan kisahnya.
Untuk pulang ke kampung halaman, rasanya tak mungkin ia lakukan, karena kedua orangtuanya telah meninggal dunia dan harta warisan milik keluarganya saat ini telah dikuasai oleh kakaknya yang dia tahu tidak pernah perduli kepada adiknya.
Setiap hari, sambil menggendong anaknya, perempuan malang itu bekerja serabutan untuk membayar hutang yang ditinggalkan oleh mantan suami dan untuk membayar kamar kos-nya, terkadang menjadi tukang pijit, terkadang menyetrika baju dan beres-beres rumah tetangga yang membutuhkan tenaganya, tapi itu tidak tiap hari.
Untuk menjadi asisten rumah tangga (ART) tidak mungkin, karena pemilik rumah memilih ART yang menginap dan tidak membawa anak.
Sampai akhirnya ada seorang teman yang mengajak perempuan itu bekerja di sebuah salon, dengan syarat tidak membawa anak, perempuan malang itu tidak mempunyai pilihan, akhirnya dengan berat hati menyanggupi permintaannya.
Setelah bekerja di salon, setiap pagi anaknya dia titipkan pada ibu kos, perempuan paruh baya yang baik hati dan selalu menolak jika diberi uang lebih.
"Lebih baik ditabung uangnya mba, untuk masa depan anakmu," selalu itu yang terucap dari bibir wanita paruh baya berhati mulia itu, setiap kali dia berusaha memberikan uang karena sudah membantu merawat anaknya saat dia tinggal bekerja.
Dia menjadi tidak enak hati karena setiap hari menitipkan buah hatinya dan sebagai balasan seminggu sekali dia selalu membawakan buah tangan untuk ibu kosnya.
Ibu kos dan tetangga kosnya hanya tahu jika dia bekerja di salon, padahal salon itu hanyalah kedok semata dan dia juga mengetahuinya setelah bekerja di sana.
Dia tidak berdaya untuk menolak dan akhirnya masuk kedalam kumbangan hitam, saat itu yang ada di dalam pikirannya hanyalah uang dan uang, dia dendam dengan kemiskinan yang sekian lama membelenggunya.
Sampai akhirnya, dia berkenalan dengan seorang pejabat yang menjadi pelanggan tetapnya, pejabat itu sering bercerita tentang istrinya yang super galak dan selalu mengatur hidupnya. Tak jarang istri pejabat itu memarahinya di depan supir bahkan stafnya.
Seminggu dua kali pejabat itu rutin menemuinya, mereka tidak pernah bertemu di salon tapi diluar, di hotel langganannya, meski pejabat itu jarang sekali menidurinya tapi pejabat itu sepertinya suka sekali menjadikannya sebagai teman curhat.
Seiring berjalannya waktu, setelah kurang lebih satu tahun lamanya sering bertemu, benih cinta mulai tumbuh dihati mereka. Akhirnya pejabat itu memintanya berhenti bekerja di salon dan menjadikan dia sebagai istri simpanannya.
Segala kebutuhan hidupnya ditanggung serta hutang pada rentenir yang dulu dia pikir entah kapan bisa melunasinya telah dilunasi oleh pejabat yang telah menjadikan dia istri simpanannya. Sebagai istri simpanan dia menyanggupi syarat yang diminta oleh lelaki yang telah memberinya uang dan semua yang di butuhkannya itu. Syarat, tidak boleh hamil, memajang foto apalagi mengaku sebagai istrinya, dia penuhi semua termasuk tidak boleh banyak menuntutnya.
Dia diberi rumah dipinggiran kota, tidak besar tapi cukup untuk ditempati berdua dengan anaknya. Dan saat ini, dia tak perlu lagi bekerja di salon kecantikan, tempat dia dulu bekerja sebelum menjadi istri simpanan pejabat itu.
Pejabat itu menemuinya setiap hari ketika waktu istirahat, paling banter satu atau dua jam, kecuali hari sabtu dan minggu serta tanggal merah. Hari-hari rawan, perempuan itu dilarang menghubunginya dalam bentuk apapun. Meski anak sakit atau bahkan dia sendiri yang sakit
Untuk pulang ke kampung halaman, rasanya tak mungkin ia lakukan, karena kedua orangtuanya telah meninggal dunia dan harta warisan milik keluarganya saat ini telah dikuasai oleh kakaknya yang dia tahu tidak pernah perduli kepada adiknya.
Setiap hari, sambil menggendong anaknya, perempuan malang itu bekerja serabutan untuk membayar hutang yang ditinggalkan oleh mantan suami dan untuk membayar kamar kos-nya, terkadang menjadi tukang pijit, terkadang menyetrika baju dan beres-beres rumah tetangga yang membutuhkan tenaganya, tapi itu tidak tiap hari.
Untuk menjadi asisten rumah tangga (ART) tidak mungkin, karena pemilik rumah memilih ART yang menginap dan tidak membawa anak.
Sampai akhirnya ada seorang teman yang mengajak perempuan itu bekerja di sebuah salon, dengan syarat tidak membawa anak, perempuan malang itu tidak mempunyai pilihan, akhirnya dengan berat hati menyanggupi permintaannya.
Setelah bekerja di salon, setiap pagi anaknya dia titipkan pada ibu kos, perempuan paruh baya yang baik hati dan selalu menolak jika diberi uang lebih.
"Lebih baik ditabung uangnya mba, untuk masa depan anakmu," selalu itu yang terucap dari bibir wanita paruh baya berhati mulia itu, setiap kali dia berusaha memberikan uang karena sudah membantu merawat anaknya saat dia tinggal bekerja.
Dia menjadi tidak enak hati karena setiap hari menitipkan buah hatinya dan sebagai balasan seminggu sekali dia selalu membawakan buah tangan untuk ibu kosnya.
Ibu kos dan tetangga kosnya hanya tahu jika dia bekerja di salon, padahal salon itu hanyalah kedok semata dan dia juga mengetahuinya setelah bekerja di sana.
Dia tidak berdaya untuk menolak dan akhirnya masuk kedalam kumbangan hitam, saat itu yang ada di dalam pikirannya hanyalah uang dan uang, dia dendam dengan kemiskinan yang sekian lama membelenggunya.
Sampai akhirnya, dia berkenalan dengan seorang pejabat yang menjadi pelanggan tetapnya, pejabat itu sering bercerita tentang istrinya yang super galak dan selalu mengatur hidupnya. Tak jarang istri pejabat itu memarahinya di depan supir bahkan stafnya.
Seminggu dua kali pejabat itu rutin menemuinya, mereka tidak pernah bertemu di salon tapi diluar, di hotel langganannya, meski pejabat itu jarang sekali menidurinya tapi pejabat itu sepertinya suka sekali menjadikannya sebagai teman curhat.
Seiring berjalannya waktu, setelah kurang lebih satu tahun lamanya sering bertemu, benih cinta mulai tumbuh dihati mereka. Akhirnya pejabat itu memintanya berhenti bekerja di salon dan menjadikan dia sebagai istri simpanannya.
Segala kebutuhan hidupnya ditanggung serta hutang pada rentenir yang dulu dia pikir entah kapan bisa melunasinya telah dilunasi oleh pejabat yang telah menjadikan dia istri simpanannya. Sebagai istri simpanan dia menyanggupi syarat yang diminta oleh lelaki yang telah memberinya uang dan semua yang di butuhkannya itu. Syarat, tidak boleh hamil, memajang foto apalagi mengaku sebagai istrinya, dia penuhi semua termasuk tidak boleh banyak menuntutnya.
Dia diberi rumah dipinggiran kota, tidak besar tapi cukup untuk ditempati berdua dengan anaknya. Dan saat ini, dia tak perlu lagi bekerja di salon kecantikan, tempat dia dulu bekerja sebelum menjadi istri simpanan pejabat itu.
Pejabat itu menemuinya setiap hari ketika waktu istirahat, paling banter satu atau dua jam, kecuali hari sabtu dan minggu serta tanggal merah. Hari-hari rawan, perempuan itu dilarang menghubunginya dalam bentuk apapun. Meski anak sakit atau bahkan dia sendiri yang sakit
Dalam diam dia sering menangis ketika melihat foto pejabat itu disurat kabar terlihat mesra dan bahagia. Tapi dia menyadari apa yang ia lakukan itu semata-mata untuk masa depan anaknya.
Sampai akhirnya setelah hampir sepuluh tahun menjadi simpanan pejabat, tanpa istri sahnya tahu, dia mendapat kabar duka dari supir pribadi pejabat itu, bahwa laki-laki yang ia anggap malaikat itu meninggal dunia, supir itu merasa kasihan padanya, memberitahu tempat tuannya dimakamkan.
Di bawah payung berwarna hitam, dia dan anaknya datang ke pemakaman, dari kejauhan dia melihat untuk yang terakhir kalinya lelaki yang sudah menolong hidupnya itu di makamkan, dan sesuai janjinya kepada pejabat itu, dia pegang teguh, bahwa dia tidak akan pernah menampakkan dirinya dihadapan istri pejabat dan anak-anaknya.
Dalam diam dia berusaha menyembunyikan tangisnya sambil terus memegang erat tangan anak semata wayangnya dari lelaki pengecut yang meninggalkan dirinya dengan sejumlah utang. Setelah makam sepi, ia tumpahkan tangisan diatas pusara lelaki yang biasa di panggil Bapak oleh anaknya.
Sampai akhirnya setelah hampir sepuluh tahun menjadi simpanan pejabat, tanpa istri sahnya tahu, dia mendapat kabar duka dari supir pribadi pejabat itu, bahwa laki-laki yang ia anggap malaikat itu meninggal dunia, supir itu merasa kasihan padanya, memberitahu tempat tuannya dimakamkan.
Di bawah payung berwarna hitam, dia dan anaknya datang ke pemakaman, dari kejauhan dia melihat untuk yang terakhir kalinya lelaki yang sudah menolong hidupnya itu di makamkan, dan sesuai janjinya kepada pejabat itu, dia pegang teguh, bahwa dia tidak akan pernah menampakkan dirinya dihadapan istri pejabat dan anak-anaknya.
Dalam diam dia berusaha menyembunyikan tangisnya sambil terus memegang erat tangan anak semata wayangnya dari lelaki pengecut yang meninggalkan dirinya dengan sejumlah utang. Setelah makam sepi, ia tumpahkan tangisan diatas pusara lelaki yang biasa di panggil Bapak oleh anaknya.
Adsn1919
Catatan: Tulisan ini pernah tayang di Kompasiana dan Secangkir Kopi
Last but not least, if you want to|if you would like to} play at South Korean casinos on-line, want to|you must} choose the payment method to make deposits and withdraw winnings. One should be especially careful to not choose options that 점보카지노 will give your financial institution the details about your gambling transactions. Since on-line suppliers offer broad range|a variety} of safe methods to transfer cash for the residents of South Korea casino video games, you need to} carefully think about what payment method will go well with|swimsuit} you greatest. The possible consequence of every round is either a win from a banker and participant or a tie. Another reason why the elite casino recreation is in style is that on-line casinos can offer more limits to the game than traditional casinos.
BalasHapus