Dokumen pribadi |
Ada istilah jangan takut untuk bermimpi. Memang benar istilah itu, karena saya menjadi guru berprestasi dan menjadi petugas upacara untuk peringatan hari besar seperti HUT PGRI dan Hari Pendidikan Nasional , yang diadakan pemerintah Kota Cirebon, berawal dari mimpi dan semua menjadi kenyataan.
Hanya satu yang tidak pernah saya impikan dan saya bayangkan, yaitu menjadi Manajer Sekolah alias Kepala Sekolah, sampai pelantikanpun saya masih belum percaya, saya ikut tes karena diminta oleh Pengawas Bina dan Kepala Sekolah tempat saya mengajar dengan alasan karena saya pernah menjadi juara pertama guru berprestasi tingkat Kota Cirebon. Dan saya ikut seleksi Calon Kepala Sekolah hanya untuk menggugurkan kewajiban saja.
Selama mengikuti seleksi Calon Kepala Sekolah, saya ikuti tahap demi tahap seperti air yang mengalir tanpa beban, apalagi saya melihat kandidat yang lain lebih senior, yang usianya dekat dengan usia saya saja terpaut sepuluh tahun di atas saya. Bisa dibayangkan saya seperti anak bawang yang ikut seleksi Calon Kepala Sekolah.
Melihat kandidat lain, banyak yang lebih pengalaman dari saya, itu membuat saya tenang, karena kalau gagalpun saya tidak malu dan bisa menjadi alasan buat saya ketika ditanya kenapa gagal seleksi Calon Kepala Sekolah, saya tinggal bilang, baru sekali ikut seleksi, usia paling muda, belum pengalaman, baru sepuluh tahun jadi PNS dan banyak alasan lain lagi. Ini pemikiran iseng saya saja ketika melihat para kandidat yang sudah beberapa kali ikut seleksi Calon Kepala Sekolah, sedang saya, baru sekali itu ikut seleksi.
Tapi eiiiit, saya tidak mau kalah dengan konyol dalam artian tidak ada persiapan apa-apa. Istilahnya jika berperang kita harus siapkan senjata untuk berperang dan hadapi peperangan itu. Kalah menang urusan terakhir. Jujur saja banyak kandidat lain yang menyepelekan kemampuan saya tapi biarlah waktu yang akan menjawab.
Setelah tes Cakep alias Calon Kepala Sekolah dari pagi sampai sore, dan pengumuman lolos tidaknya langsung diumumkan hari itu juga, perasaan saya masih datar saja. Pikiran saya lolos berarti jadi Kepala Sekolah tidak lolos berarti ya tetap jadi guru, sederhana kan? Tapi setelah diumumkan ternyata saya rangking dua, antara senang kecewa. Senangnya saya bisa mengalahkan diri sendiri dan kecewanya kenapa saya lolos, karena mimpipun tidak, untuk menjadi seorang Kepala Sekolah dan jujur saja, saya merasa belum siap menjadi seorang pemimpin.
Mau tidak mau, saya terjun dan belajar menjadi seorang pemimpin yang ideal seperti apa, saya pelajari dan saya ingat-ingat para Kepala Sekolah yang pernah menjadi atasan saya, sebagian cara memimpinnya saya ambil. Saya juga mempelajari bagaimana menjadi seorang pemimpin dari ayah saya, kebetulan beliau pernah menjabat sebagai Wakil Walikota di sebuah kota perbatasan dengan Jakarta Selatan.
Saya dipercaya memegang sekolah di daerah pinggiran dengan murid sedikit, ini menjadi tantangan buat saya. Alhamdulillah dengan tertatih-tatih, sedikit demi sedikit sekolah saya banyak perubahan berkat kerjasama dengan guru-guru. Banyak tantangan yang saya hadapi yang manis dan yang pahit saya telan semua. Tidak mudah mengajak guru untuk berubah karena pasti ada yang pro dan kontra ini menjadi hukum alam, awalnya saya sampai sakit kepala menghadapi guru yang kontra, lama-lama saya tetap jalankan program dengan guru-guru yang mendukung kegiatan dan saya buktikan pada mereka, saya murni ingin memajukan sekolah, sampai akhirnya guru yang kontra ikut mendukung program saya tersebut.
Menjadi Pemimpin di sekolah yang 'kurus' saja terasa berat, bagaimana dengan Gubernur dan presiden? Dengan ribuan bahkan jutaan kepala yang pasti berbeda pola pikirnya. Menjadi Pemimpin itu jangan baperan dan cepat marah, saya selalu mengevaluasi kejadian atau masalah di Sekolah dan ketika rapat itu kesempatan saya mengeluarkan unek-unek secara umum ke guru-guru, saya lakukan untuk kebaikan mereka juga. Bila masalah personil saya ajak mereka bicara empat mata dengan maksud tidak mau mempermalukan mereka di depan yang lain.
Pemimpin selalu dinilai salah itu memang saya rasakan, ketika yang melakukan kesalahan itu guru dan tanpa sepengetahuan saya, tetap saya yang menghadapi dan menyelesaikan semua. Saya punya pengalaman didatangi sepuluh orang wartawan dan LSM yang memakai anting dan bertato, karena kesalahpahaman salah satu anggota mereka dengan seorang guru saya, bahasa mereka kasar dan memancing emosi tapi saya tahan semua, saya hanya bisa beristigfar dalam hati dengan memasang wajah tenang, padahal saya ingin menyumpal mulut mereka satu-satu yang bicara kasar. Dengan alot akhirnya masalah itu selesai juga. Sampai ada guru yang bilang saya tahan banting, padahal saat itu hati saya penuh airmata nahan kesal.
Saya juga pernah di kirim 'Surat cinta' dari anggota DPRD yang hanya mendengar sepihak dari orangtua murid yang kecewa dengan salah seorang guru di sekolah saya, saya balas Surat itu dan saya minta nomor HP anggota dewan itu pada orangtua yang membawa Surat anggota dewan tersebut. Setelah dapat no HP-nya saya jelaskan panjang lebar inti permasalahan dan meminta Anggota Dewan itu ke Sekolah, tapi beliau anggap cukup jelas dan tidak perlu ke sekolah karena saya minta bantuan juga untuk bangunan Sekolah. Hehehe
Masih banyak pengalaman yang kurang enak karena sikap guru yang suka bertindak sendiri, padahal tidak bosan-bosan selalu diingatkan ketika rapat. Ternyata menjadi pemimpin ideal itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak pernak pernik masalah sekolah yang harus dihadapi dan selesaikan karena yang kita hadapi itu makhluk hidup yang punya keinginan dan pemikiran sendiri. Tinggal kita saling memahami dan meredam ego kita. Karena hidup itu harus siap menghadapi masalah dan pemimpin yang kuat itu yang menghadapi dan menyelesaikan masalah, bukan lari atau bersembunyi dari masalah.
ADSN1919
Catatan: tulisan pertama tayang di blog secangkirbersama.com
Tayang di Kompasiana
Posting Komentar untuk "Pemimpin Ideal"
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.