Mas Ingat Kami, Jangan Tebar Pesona Lagi
"Sayang, coba sapa kakakmu, mas khawatir dia mengurung seharian di kamar, belum makan dari pagi"
"Ada masalah apa mas?"
"Mas kurang tahu, diajak ke dokter gigi, ga mau juga"
"Iya, sebentar mas, aku coba tanya kakak"
-----
Percakapan tanggal 4 Desember masih kuingat, selang satu hari setelah ulang tahunku yang ke 44. Jujur aku kaget dengan tindakan kakak yang mengurung di kamar, padahal kemarin dia yang lebih dulu mengucapkan selamat ulang tahun padaku dibanding si mas.
Agak ragu aku menyapa kakak, khawatir marah padaku. Tapi demi kebaikan bersama aku mencoba menyapa dengan menanyakan keadaanya. Seperti biasa kakak menjawab dengan ramah. Sampai aku bertanya,
"Apa kakak marah sama aku?"
"Bukan, kakak marah ke si papa",
"Marah kenapa kak?"
"Pulang dari lapangan kakak baca WhatsApp si papa, dia Wa-an dengan perempuan lain akrab banget, memberitahu baru sampai rumah, gimana perasaan bunda coba, kakak kesal dengan sikap si papa"
"Siapa kak, si A atau si B?"
"Bukan bun, tapi si C, kakak ga rela si papa tebar pesona dengan yang lain, cukup bunda yang terakhir. Kalau dengan bunda kakak ikhlas tapi tidak dengan perempuan lain, bunda kenal dengan si C?"
"Kenal kak, dia aktif di Pospiana juga, sama-sama suka nulis. Tenang kak si papa bilang ke aku kalau dengan yang lain hanya iseng"
"Tapi kakak engga suka bun, cukup bunda yang terakhir jangan ada perempuan lagi"
"Kak, jika kehadiranku juga membuat kakak tidak tenang, katakan saja kak, aku siap mundur"
"Jangan bun, bunda terlanjur sudah menikah dengan si papa, kakak ikhlas, sekali lagi kakak tidak ikhlas si papa dekat perempuan lain, apa masih kurang si papa sudah mendapatkan kita berdua?".
Aku terdiam ketika kakak mengeluarkan kemarahannya. Aku sesalkan sikapmu mas, masih bermain-main dengan perasaan kami. Sampai aku punya pemikiran mundur dari hidupmu karena aku tidak sesabar kakak.
Mas serba salah ketika kami berdua marah, minta kejelasan tentang hubungan mas dengan perempuan itu. Mas tak berani menjelaskan di grup WhatsApp bertiga, tapi menjelaskan secara personal padaku karena kami sama-sama penulis juga.
Mas bilang hanya berteman seperti yang lainnya, sekedar mengirim link tulisan, hanya menjelaskan baru sampai rumah dari lapangan karena telat memberi vote dan komentarnya. Tapi setelah aku desak baru mengakui bahwa si C adalah teman pertama di Pospiana, biasa bercanda dengan bebas tanpa takut si C sakit hati atau tidak, tapi tidak pernah bicara masalah pribadi. Benar tidaknya aku serahkan pada yang Maha Mendengar.
Kenapa setelah di desak baru mas mengakui? Katanya kita cermin, aku jaga kepercayaan mas, tapi mas tidak bisa menjaga kepercayaanku. Apakah itu yang disebut cermin?
Aku tidak ceritakan semua ke kakak penjelasan mas tentang si C, aku khawatir menambah beban pikirannya, aku tenangkan kakak meski diam-diam aku menangis, aku kecewa pada mas sangat kecewa. Pantas dua hari ini bawaanku melow terus, ternyata ini jawabannya masih ada yang mas sembunyikan.
Aku memberitahu kakak bahwa mas sangat mengkhawatirkan kakak karena kakak tidak mau makan, aku kuatkan kakak untuk semangat dan percaya dengan mas, aku ingatkan mput yang membutuhkan kakak, padahal saat itu aku juga sangat rapuh dan perlu dikuatkan. Tapi aku sembunyikan demi kakak. Sampai kakak tenang dan mengucapkan terimakasih padaku. Aku menangis sendirian.
Yang aku sesalkan kenapa mas tidak menjelaskan dari awal tentang kedekatan mas dengan si C biar aku bisa menjelaskan ke kakak. Seperti pertanyaan kakak tentang si B.
Terbuat dari apa hatimu mas, bisa meladeni setiap perempuan Pospiana yang WhatsApp padamu dengan alasan saling mengirim link tulisan. Padahal ada kedekatan dibalik itu, ingat tidak, mas selalu cemburu padaku bila di Pospiana ada yang menyapaku, sampai menanyakan siapa yang selalu menghubungiku di WhatsApp, jujur setelah kita menikah, aku tidak meladeni lelaki yang menghubungiku aku tepati janjiku, sedang mas tidak bisa menepati janji.
Jika mas sayang kami, tolong jangan tebar pesona lagi atau kami akan melakukan hal yang sama, mas rela kami seperti itu?.
ADSN1919
"Sayang, coba sapa kakakmu, mas khawatir dia mengurung seharian di kamar, belum makan dari pagi"
"Ada masalah apa mas?"
"Mas kurang tahu, diajak ke dokter gigi, ga mau juga"
"Iya, sebentar mas, aku coba tanya kakak"
-----
Percakapan tanggal 4 Desember masih kuingat, selang satu hari setelah ulang tahunku yang ke 44. Jujur aku kaget dengan tindakan kakak yang mengurung di kamar, padahal kemarin dia yang lebih dulu mengucapkan selamat ulang tahun padaku dibanding si mas.
Agak ragu aku menyapa kakak, khawatir marah padaku. Tapi demi kebaikan bersama aku mencoba menyapa dengan menanyakan keadaanya. Seperti biasa kakak menjawab dengan ramah. Sampai aku bertanya,
"Apa kakak marah sama aku?"
"Bukan, kakak marah ke si papa",
"Marah kenapa kak?"
"Pulang dari lapangan kakak baca WhatsApp si papa, dia Wa-an dengan perempuan lain akrab banget, memberitahu baru sampai rumah, gimana perasaan bunda coba, kakak kesal dengan sikap si papa"
"Siapa kak, si A atau si B?"
"Bukan bun, tapi si C, kakak ga rela si papa tebar pesona dengan yang lain, cukup bunda yang terakhir. Kalau dengan bunda kakak ikhlas tapi tidak dengan perempuan lain, bunda kenal dengan si C?"
"Kenal kak, dia aktif di Pospiana juga, sama-sama suka nulis. Tenang kak si papa bilang ke aku kalau dengan yang lain hanya iseng"
"Tapi kakak engga suka bun, cukup bunda yang terakhir jangan ada perempuan lagi"
"Kak, jika kehadiranku juga membuat kakak tidak tenang, katakan saja kak, aku siap mundur"
"Jangan bun, bunda terlanjur sudah menikah dengan si papa, kakak ikhlas, sekali lagi kakak tidak ikhlas si papa dekat perempuan lain, apa masih kurang si papa sudah mendapatkan kita berdua?".
Aku terdiam ketika kakak mengeluarkan kemarahannya. Aku sesalkan sikapmu mas, masih bermain-main dengan perasaan kami. Sampai aku punya pemikiran mundur dari hidupmu karena aku tidak sesabar kakak.
Mas serba salah ketika kami berdua marah, minta kejelasan tentang hubungan mas dengan perempuan itu. Mas tak berani menjelaskan di grup WhatsApp bertiga, tapi menjelaskan secara personal padaku karena kami sama-sama penulis juga.
Mas bilang hanya berteman seperti yang lainnya, sekedar mengirim link tulisan, hanya menjelaskan baru sampai rumah dari lapangan karena telat memberi vote dan komentarnya. Tapi setelah aku desak baru mengakui bahwa si C adalah teman pertama di Pospiana, biasa bercanda dengan bebas tanpa takut si C sakit hati atau tidak, tapi tidak pernah bicara masalah pribadi. Benar tidaknya aku serahkan pada yang Maha Mendengar.
Kenapa setelah di desak baru mas mengakui? Katanya kita cermin, aku jaga kepercayaan mas, tapi mas tidak bisa menjaga kepercayaanku. Apakah itu yang disebut cermin?
Aku tidak ceritakan semua ke kakak penjelasan mas tentang si C, aku khawatir menambah beban pikirannya, aku tenangkan kakak meski diam-diam aku menangis, aku kecewa pada mas sangat kecewa. Pantas dua hari ini bawaanku melow terus, ternyata ini jawabannya masih ada yang mas sembunyikan.
Aku memberitahu kakak bahwa mas sangat mengkhawatirkan kakak karena kakak tidak mau makan, aku kuatkan kakak untuk semangat dan percaya dengan mas, aku ingatkan mput yang membutuhkan kakak, padahal saat itu aku juga sangat rapuh dan perlu dikuatkan. Tapi aku sembunyikan demi kakak. Sampai kakak tenang dan mengucapkan terimakasih padaku. Aku menangis sendirian.
Yang aku sesalkan kenapa mas tidak menjelaskan dari awal tentang kedekatan mas dengan si C biar aku bisa menjelaskan ke kakak. Seperti pertanyaan kakak tentang si B.
Terbuat dari apa hatimu mas, bisa meladeni setiap perempuan Pospiana yang WhatsApp padamu dengan alasan saling mengirim link tulisan. Padahal ada kedekatan dibalik itu, ingat tidak, mas selalu cemburu padaku bila di Pospiana ada yang menyapaku, sampai menanyakan siapa yang selalu menghubungiku di WhatsApp, jujur setelah kita menikah, aku tidak meladeni lelaki yang menghubungiku aku tepati janjiku, sedang mas tidak bisa menepati janji.
Jika mas sayang kami, tolong jangan tebar pesona lagi atau kami akan melakukan hal yang sama, mas rela kami seperti itu?.
ADSN1919
Bagus ceritanya ya...
BalasHapusKeren